Sebenernya ini pertanyaan simpel tapi entah kenapa tiap orang belum tentu bisa menjawabnya.
'Kapan sih waktu yang tepat untuk kita?'
Ketika kita sudah berusaha all out untuk mendapatkan sesuatu, namun gagal.
Selalu berusaha maksimal namun hasil yang didapat jauh dari ekspektasi.
'Belum waktunya aja kali' kata teman sembari menghibur.
Adakah harapan di dalam kalimat itu?
Terus kapankah sesuatu itu tepat dan sesuai dengan waktunya?
Katanya semua akan indah pada waktunya?
Tapi kapan itu semua akan terjadi?
Kapan?
The Journey Day
Rabu, 10 September 2014
Desa Sejuta Cerita dan Harapan
Hari Senin
tanggal 14 Juli, akhirnya kami (BL-19) menempati 4 Desa di Kecamatan Blahbatuh.
Awalnya, ketika sudah sampai Pulau Bali ini pun kami yang berjumlah 29 orang
belum tahu menahu secara pasti akan ditempatkan dimana. Maklum, kami KKN utusan
LPPM langsung sehingga bisa dibilang semuanya serba on the spot.
Dari
keempat Desa di Kecamatan Blahbatuh, lokasi sub unit saya berada di Desa
Pering. Dari namanya, saya mengira Desa ini banyak dengan pohon bambu (pring
dalam bahasa Jawa berarti Bambu). Namun kenyataannya tidak seperti itu, Desa
Pering tidak sesunyi dan sengeri bayangan saya. Ditambah lagi pondokan kami
terletak di SD Negeri 1 Pering, kesan angker pun hilang karena setiap harinya
kami didatangi dan dihibur oleh siswa-siswi yang menyenangkan. Warga Desa
Pering juga menunjukkan sikap keramah-tamahannya pada saya, sehingga ada
perasaan nyaman dan aman saat pertama kali jumpa.
Masa
observasi yang berjalan di minggu pertama, selain untuk identifikasi permasalah
di desa, kami habiskan untuk berkenalan dan mencoba beradaptasi dengan
kebiasaan Orang Bali yang mungkin di luar kebiasaan kami. Beberapa karakter
orang Bali yang berhasil saya tangkap seperti tidak suka berbasa-basi, to the point yang berbeda dengan orang
Jawa dengan sikapnya yang pekeweuh
atau tidak enakan. Masyarakat Bali begitu mencinta warisan budaya para leluhur,
terbukti dari adat dan tradisi yang tidak luntur digerus oleh kemajuan zaman.
Anak-anak, remaja bahkan para orang tua masih dengan rajin belajar tarian
tradisional dan gamelan. Mereka dengan kesadarannya masing-masing, menyempatkan
waktu untuk tidak hanya bekerja dan sembahyang, namun belajar melestarikan
budaya. Kondisi yang sulit sekali saya temukan di Pulau Jawa.
Berangkat
dengan tema Rehabilitasi Pantai, kami memulai segala kegiatan yang berhubungan
dengan pantai dan segala macam isinya. Namun ada beberapa kegiatan yang kami
lakukan karena permintaan dari desa maupun sekolah yang merupakan pondokan kami
selama 1,5 bulan ini. Saya berharap bidang ilmu yang saya ambil di kehutanan
dapat sejalan dengan tema rehabilitasi pantai. Karena seharusnya KKN adalah
ajang untuk mengetahui apa yang sebenarnya ada di lapangan, bukan hanya sekedar
menghafal teori. Jika bukan karena KKN, saya yakin apa yang saya dapat di
bangku kuliah pastilah akan menguap seiring berjalannya waktu, seperti spiritus
yang lama dibiarkan terbuka begitu saja.
Idealnya,
keberhasilan dari kegiatan KKN haruslah memberdayakan masyarakat sekitar untuk
meningkatkan kesadaran sehingga ada tindakan nyata dalam membangun desa. Sesuai
pengalaman selama 1,5 bulan ini, dalam mengajak masyarakat untuk turut serta
dalam mewujudkan bersama program kerja tidaklah semudah harapan. Diperlukan upaya adaptasi agar
masyarakat mau dan bersedia secara sukarela datang dan membantu. Awalnya kami
sedikit kesulitan memulai berbaur dengan masyarakat, namun moment 17-an di tiap
banjar berhasil mengakrabkan kami dengan masyarakat sekitar.
Menurut saya, KKN
bukanlah soal terpenuhi JKEM minimal yang disyaratkan oleh LPPM, namun bagaimana
mahasiswa dapat bersosialisasi dengan masyarakat dalam mewujudkan tujuan
bersama. KKN bukanlah soal terselesaikannya RPK,LRK, I1, I2, U1 maupaun U2, namun
bagaimana 24 jam yang kita miliki dalam sehari dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya. KKN bukan hanya soal 3 sks yang kami pertaruhkan di masa akhir
kuliah, namun bagaimana mahasiswa tua seperti saya bisa melihat langsung apa
yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat.
Setelah
sesampainya di Jogja, kenangan yang akan terus saya ingat adalah keramahan
orang-orang Bali dalam menerima orang baru. Mereka tanpa pamrih selalu
membantu, seperti misalnya Bapak Wayan, Bapak Pinda, Bapak Ketut, Bapak Janu, Dewi
yang dengan gratis memberikan dan meminjamkan beberapa alat yang mereka miliki
untuk kami. Serta ibu-ibu dari Banjar Pering, Banjar Pinda, Banjar Sema, Banjar
Tojan, Banjar Patolan yang tidak bisa disebut satu per satu. Para remaja Desa
Pering yang tergabung di Saka Truna Truni (STT) dan anak-anak ajaib SD Negeri 1
Pering yang tanpa bosan selalu datang menengok ke pondokan. Ketut, Tubi, Anto
Tuyul, Dek Na, Kadek Mas, Sumber, Widi Restu, Tutdi, Antony, Wayantara, Wadi, Mangde, Agus, Diana,
Aryasih, Yuma, Mangiya, Putri Devi, Kadek Via, Mantrian, Ade, Kadek Ari, Eka, Yude dan lain-lain.
Sulit sekali
rasanya meninggalkan rumah kedua saya saat diharuskan pulang ke Jogja. Begitu
berat meninggalkan anak-anak yang menangis ketika akan ditinggal pergi dan
warga Desa Pering yang penuh harap pada anak KKN agar terus meraih cita-cita
dan kesuksesan. Saya sudah menganggap mereka sebagai keluarga baru yang
melengkapi dan mewarnai kegiatan KKN menjadi lebih hidup dan bermakna. Terima
kasih semua untuk pengalaman luar biasa yang telah kalian berikan selama 59
hari di Desa Pering, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar.
Selepas KKN ini,
saya berharap agar warga Desa Pering lebih berani menatap dunia ke depan,
teruslah bangkit dan bermimpi membangun
desa yang lebih sejahtera. Paculah anak-anak dari usia dini untuk terus
berkarya tanpa lelah, ukirlah prestasi setinggi mereka bisa dan doronglah
mereka untuk mengutamakan pendidikan agar bisa mengejar mimpi-mimpi besar. Bila
ada kesempatan untuk kembali menengok rumah kedua saya, semoga apa yang saya
harapkan dapat terwujud. Sampai jumpa Desa Pering, sampai jumpa di lain waktu.
Tetaplah terselimuti oleh kehangatan dan keramahan.
Sabtu, 22 Desember 2012
My First Paper
Actually I participated in ARM 2013 selection but i don't elected. It's okay, that's not the point that i really reached for.
Beside of that, i learned how to make a good paper and presentation also.
At this moment I have to be brave to speak in English, anyway my English was not good enough. But i tried :)
This is my paper that i made for this election. Hopefully it can worthwhile for you guys.
‘Conservation Effort Through Increase
Ecotourism in Merapi Volcano Mountain, Yogyakarta-Central Java, Indonesia’
By : Dayu Kemalasari Soraya
Faculty
of Forestry Universitas Gadjah Mada
I.
Abstract
Southern
slope of Merapi Volcano Mountain is the touristic area fulfill with the
beautiful nature panorama, biodiversity and social culture potentials.
Nowadays, such various potentials not yet intensifically developed, so some
crucial conservation problems still occur in that area. Thus ecotourism
development in the form of special interest tour package could be the answer to
force the environmental care-based tourism activity. ecotourism potentials in
the southern slope of Merapi Volcano Mountain can be developed in the form of
special interest tour package, which all stakeholders in that area could be
contribute in it. Wishes in the future, not only local community economic
empowerment could be done but also helping the physical and non physical
environment conservation in that area.
Keyword :
Nature potential, Conservation efforts, Local
Society, Ecotourism, Merapi Volcano Mountain-
Indonesia.
II.
Introduction
Tourism
is one of the sectors that globally has faced the fastest economic growth rates
throughout the last decade. Furthermore,
for many developing
countries, it has become a prime source of foreign exchange
inflows. At the same
time, tourism has a generally
low negative impact on the
environment compared to other productive sectors such as agriculture, cattle
ranching and mining. With growing global pressures on forest resources and the
search for models of sustainable development and sustainable forest use, it has
thus been natural to look towards tourism in forest areas as a potential
‘win-win’ component in the design of conservation strategies and practices
(Wunder, 1999).
Tourism
directed towards natural forests can be viewed as another element within the
array of ‘non-timber forest benefits’, complemented by other forest services,
such as watershed protection,
carbon storage and
erosion control, and by the exploitation of various non-timber forest products. As
an, in principle,
non-consumptive use of the forest, it is a potentially well-suited
element for conservation. Moreover, the
tourist appeal of a natural site (and hence its income-generating potential)
tends to be closely related to its conservation level. Finally, unlike other forest services that
are often valued too late, i.e., when forest loss has already led to visible environmental
costs, nature tourism
is able to produce ‘in time’ new and additional
financial resources. These
resources may provide
important conservation incentives
for the relevant natural resource managers, by increasing the gains from
conservation-based options, compared
to competing, non-sustainable land
uses (forest degradation and/or conversion) (Wunder, 1999).
Human
and ecosystem are two parts that could not be separated one to another. Both
are need each other. Human needs the nature for the place to live, the place to
fulfill all needs that originated from potentials that existed in the nature,
and vice versa. Nature as the place for humankind needs human with their wisdom
in order to maintain its right (Merchant, 2005).
A
principal criterion for classifying a tourism operation as ‘ecotourism’ is that
local residents at the site should receive substantial economic benefits, which
serve both to raise local living standards and as enhanced incentives for
nature conservation. At Merapi Volcano Mountain stored great potential to develop ecotourism
based conservation efforts implemented by local
communities.
III.
Result
1. The
Potential of Merapi Volcano Mountain.
Merapi Volcano Mountain has great potential
for amazing natural scenery, biodiversity and socio-cultural resources. Merapi
has three parameters that support the attraction of this place, such as
uniqueness, beauty and coolness. The uniqueness of Merapi can be proved by the
discovery of beautiful endemic species that is the Javanese hawk-eagle. The
beauty of this mountain include views of diversity, visual contrast, a panoramic
view of the amazing nature and the mystery of the value stored in it. In the
region have relatively cool temperatures allowing the viewer to feel the different
temperatures as in their city.
2. Conservation
effort
While
some see tourism as the route to economic development, more
recently it has also been seen as a tool
for conservation. Given that half the world’s protected areas are in mountains,
the potential for ecotourism development is significant (Panos, 2002). Conservation
too has to achieve a balance between local and wider needs if it is to succeed.
Increasingly, it is about seeing people as an integral part of a mountain ecosystem
rather than excluding them from certain ‘protected areas’. The more traditional
approach did not always recognise the reliance of local populations on a protected
area, either for forest products or grazing. Biosphere reserves recognise the
key role of people in areas of high biodiversity. They consist of core, buffer
and transition zones that meet the need for different levels of protection as
well as for human activity in each zone. To ensure that mountain people do not
have to make difficult choices between their own survival and that of mountain ecosystems,
conservation has to be materially beneficial for them – for example through a
rights and royalties system; tourism and trophy hunting; the cultivation and
sale of medicinal plants. This ethic requires that human benefits be derived in
a sustainable manner and recognizes that human uses need to be reconciled with
intrinsic and necessary ecosystemic functions and structures (Laarman et al, 1991).
3. Local
society
The
relation between local society and ecosystem is mutually related. The ecosystem
gives benefit to human and vice versa. Nevertheless, the ecosystem management
is not value-free from the knowledge owned by humankind upon the ecosystem
itself, including the knowledge of traditional ecology from certain community.
The traditional ecological knowledge is also owned by local people who live
around Merapi Volcano Mountain, Yogyakarta. Issue related to traditional
ecological knowledge then explain on how local people around Merapi Volcano
Mountain utilizes and manages the ecosystem potentials like ecotourism at that
place. The important things in Merapi Volcano Mountain include both ecological
issue as well as social issue.
Further
research and development in mountain regions must involve local people. In many
senses they can be considered the real ‘experts’ on mountain development and should
be involved in planning and decision-making. The stakes are high, not just for
those who live in mountains, but for the billions of people who depend on their
resources, and for the global ecosystem.
4. Ecotourism
Currently
the emergence of trends and new developments in the world of tourism is
characterized by the development of lifestyle and a new awareness of a deeper
appreciation for the values of human relationships with the natural
environment. The new development is specifically indicated by the forms of
involvement in the activities of travelers off the field (out-door), concern
for the problems of ecology and nature conservation, advancement of science and
education, emphasis and appreciation for the aesthetic values, needs
development self or personal as well as
a desire to interact deeply with local communities (Ceballos, 1991).
The
great potential of this area until now there has been intensively developed so
that there is a wide range of issues concerning conservation. For the
development of ecotourism in the form of special interest tourism package is
expected to be one of the answers to encourage environmentally sound tourism
activities. The potential that there would be very useful if developed and
certainly can attract tourists to visit. The most important thing is to make
the subjects were able to develop tourism in the area of Merapi Volcano
Mountain is not just the object of spectacle tourists give more benefits to
visitors.
IV.
Conclusion
Developing
ecotourism of Merapi Volcano Mountain should be done in advance conservation
efforts on the region to support the preservation of nature, beauty and uniqueness
stored inside in this area. With good conservation management in that area, it
can add to the attractiveness of the Merapi Volcano Mountain. Therefore, the
development of ecotourism can be well coupled with conservation efforts in
support of the preservation of nature. Increasing ecotourism in that area
indirectly affect local communities in, for example it can improve the lives of
local people. The visitors are not only doing recreation, but they can also
enjoy the ecotourism recreation based environment by being able to interact
with the surrounding local communities. Thus, Merapi volcano Mountain is
expected can be a charm to attract visitors in ecotourism activities in the
surrounding area.
V.
References
Ceballos, L, H. 1991. Tourism,
ecotourism and protected areas. CNPPA 35th Working Session, UICN, Santo Domingo,
República Dominicana.
Laarman, J.G. and Durst, P.B. 1991. Nature
tourism as a tool for economic development and conservation of natural
resources. College of Forest Resources,
North Carolina State University, Raleigh, NC
Merchant, Carolyn. 2005. Radical Ecology: The Search for a Livable
World. Routledge.
New York.
Panos. 2002. High Stakes The future for
mountain societies. The Panos Institute. London.
Wunder, Sven. 1999. Promoting Forest Conservation through Ecotourism Income (A case study from the
Ecuadorian Amazon region). CIFOR Indonesia. Bogor.
.
Senin, 10 Desember 2012
Your Favorite Song
Ini lagu kesukaanmu.
I guess the time was right for us to say
We'd take our time and live our lives together day by day
We'll make a wish and send it on a prayer
We know our dreams can all come true with love that we can share
With you I never wonder - will you be there for me
With you I never wonder - will you be there for me
With you I never wonder - you're the right one for me
I finally found the love of a lifetime
I finally found the love of a lifetime
A love to last my whole life through
I finally found the love of a lifetime
Forever in my heart
I finally found the love of a lifetime
With every kiss our love is like brand-new
With every kiss our love is like brand-new
And every star up in the sky was made for me and you
Still we both know that the road is long
(But) we know that we will be together because our love is strong
I finally found the love of a lifetime
I finally found the love of a lifetime
A love to last my whole life through
I finally found the love of a lifetime
Forever in my heart, I finally found the love of a lifetime......
I wish every single word of this lyric will be true :)
Senin, 26 November 2012
Draft Shorea RUU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekosistemnya
Ini tulisan kasar saya yang ke depannya Insya Allah (akan) diterbitkan di majalah Shorea, majalah resmi dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Fakultas Kehutanan.
Masih belibet dan diksi yang nggak sebaik penulis lain. Yaaah just improve my skill to keep writing and doing another activities except acomplished all my holly report :D
Masih belibet dan diksi yang nggak sebaik penulis lain. Yaaah just improve my skill to keep writing and doing another activities except acomplished all my holly report :D
Akan
Dibawa Kemana UU No. 5 Tahun 1990 Tentang KSDHE?
Telah
disadari bersama bahwa negara Indonesia sangatlah kaya akan berbagai sumber
daya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya. Keanekaragaman
hayati tersebut mencakup keanekaragaman spesies, keanekaragaman antar spesies
dan keanekaragaman ekosistem yang berasal dari berbagai sumber, termasuk di
antaranya daratan, lautan, dan
ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian
dari keanekaragamannya.
Sumber
daya alam yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia tersebut disadari suatu
ketika akan habis dan punah jika pengelolaannya dilakukan secara tidak lestari
dan berkelanjutan.
Oleh
karena itu diperlukan pengembangan kawasan konservasi yang ditujukan untuk
mengusahakan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga
dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan
manusia serta adanya benteng terakhir untuk menjada plasama nutfa di dalamnya.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melindungi kepunahan spesies yang
terjadi secara alami akibat terjadinya disharmoni yang menyebabkan kerusakan
lingkungan.
Perubahan
yang cepat pada lingkungan selama 20 tahun terakhir telah menyebabkan
konservasi sumber daya hayati dan ekosistem di Indonesia yang diselenggarakan
dalam UU No.5 Tahun 1990 tentang Keanegaraman Alam Hayati dan Ekosistemnya
tidak berjalan secara efektif, oleh karena itu perlu ada pernyempurnaan. Di
dalam UU No. 5 Tahun 1990 ini diatur mengenai pengelolaan sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya serta pemanfaatannya agar dilakukan secara bijaksana
untuk menjamin kesinambungan persediaanya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman hayati dan nilainya. Undang-undang ini
menentukan pula kategori atau kawasan suaka alam dengan ciri khas tertentu,
baik didarat maupun diperairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengamanan keanekaragaman satwa langka, serta ekosistemnya.
Namun
pelaksanaan yang terjadi di lapangan tidak seutuhnya berjalan sesuai
Undang-undang yang berlaku. Hal tersebut dikarenakan munculnya berbagai
permasalahan baru, misalnya kurangnya
partisipasi dari masyarakat untuk turut serta dalam pengelolaan konservasi di
tingkat jenis, genetik dan ekosistem akibat aturan yang terlalu rigid dalam
melarang akses masyarakat ke dalam kawasan konservasi. Masyarakat dinilai telah
menyebabkan kerusakan berupa kepunahan
flora dan fauna langka di areal konservasi. Lalu kurangnya sinergi antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat terkait kepemilikan dan
pemanfaatan dari kawasan konservasi. Karena apabila luas dari kawasan
konservasi cukup luas dan pemanfaatannya dikelola langsung oleh Pemerintah
Pusat, maka Pemerintah Daerah dan masyarakat merasa tidak memiliki dan tidak
mendapat keuntungan dari kawasan konservasi tersebut.
Permasalahan
lain yang menjadi pertimbangan usulan perubahan UU No. 5 Tahun 1990 adalah
adanya potensi tambang yang berada di kawasan konservasi seperti emas, gas,
minyak bumi dan uranium. Rencana perubahan yang diusulkan berlandaskan pada
pelarangan semua akses pada untuk semua pihak yang menyebabkan eksistensi
kawasan konservasi justru menjadi common enemy yang menimbulkan berbagai
kontradiksi.
Banyak
kririkan yang mengarah pada substansi UU yang perlu disesuaikan dengan
perkembangan kekinian. Oleh karena itu Kemenhut melakukan sosialisasi draft
pengganti yang perlu dibahas tanpa mengurangi kelebihan yang telah ada sebelumnya.
Rencana perubahan UU No. 5 Tahun 1990 telah diusulkan oleh Sekretaris Dirjen
PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam), Hartono berupa draft rancangan
Undang-undang yang akan dikonsultasikan dan akan dirumuskan oleh Pemerintah. Namun
draft baru ini dinilai masih menyikapi ekosistem dengan setengah hati karena
terlalu berasumsi bahwa keanekaragaman hayati bisa berdiri sendiri tanpa
terkait dengan non hayati, padahal mestinya keduanya saling menetukan dalam
ekosistem.
Kelemahan dari RUU No. 5 Tahun 1990 ini dapat
dilihat dari inkonsistensi beberapa pasal, seperti Pasal 1 ayat 3 mengenai definisi Sumber Daya
Alam dan Hutan hanya menekankan pada komponen ekosistem hayati dengan
mengesampingkan peranan dari ekosistem sendiri. Pada pasal 1 ayat 4 definisi
konservasi keanekaragaman hayati hanya pada perlindungan, pengelolaan dan
pemanfaatan keanekaragam hayati yang seakan-akan terpisah dari ekosistem.
Melupakan fungsi konservasi sebagai alat kontrol budidaya serta melupakan peran
sumberdaya hutan sebagai penyumbang produk non hayati sebagai produk ekosistem,
misalnya adalah air.
Sebetulnya
banyak pihak yang kurang menyetujui rencana perubahan Undang-undang ini,
seperti Lembaga Swasaya Masyarakat (LSM) dan para penggiat konservasi yang mengkhawatirkan pada perubahan yang
terlalu longgar justru akan menurunkan efektivitas pengelolaan di dalam kawasan
konservasi. Ekosistem yang merupakan wadah interaksi antara spesies dan lingkungannya
akan dipisahkan dari unsur keanekaragaman hayati yang pada sejatinya hubungan antar
spesies di dalam kawasan hutan dengan lingkungannya tidak dapat berdiri sendiri
tanpa ada sebuah interaksi yang membentuk sebuah ekosistem.
Sebagai
pihak yang peduli terhadap perubahan yang terjadi dalam konteks kehutanan,
alangkah baiknya untuk tetap peka mengenai persoalan yang berkaitan dengan
keberlanjutan pengelolaan kawasan hutan. Harapan ke depan terkait adanya
perubahan atau tidak adanya perubahan
dalam UU No. 5 Tahun 1990 ini
adalah kelemahan-kelemahan dari Undang-undang dapat teratasi dengan sebuah
Undang-undang keanekaragaman hayati yang mampu menjamin terselenggaranya
konservasi pada tingkat genetik, jenis, dan ekosistem secara terintegrasi
sehingga tujuan konservasi berupa kelestrarian keanekaragaman hayati dan
kesejahteraan masyarakat dapat terwujud secara efektif. Hal ini dapat
diwujudkan dengan melindungi dan memulihkan
kualitas dan kuantitas keanekaragaman hayati baik di areal publik maupun
masyarakat, mewujudkan keseimbangan, keserasian, kebermanfaatan keanekaragaman
hayati bagi kesejahteraan yang berkelanjutan dengan memperhatikan penguatan
fungsi sosial, ekonomi, lingkungan, dan penguatan hak-hak masyarakat. Juga
dapat terciptanya harmonisasi peran para pihak antara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam penyelenggaraan konseervasi
keanekaragaman hayati (Dayu).
Langganan:
Postingan (Atom)