Senin, 26 November 2012

Draft Shorea RUU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekosistemnya

Ini tulisan kasar saya yang ke depannya Insya Allah (akan) diterbitkan di majalah Shorea, majalah resmi dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Fakultas Kehutanan.
Masih belibet dan diksi yang nggak sebaik penulis lain. Yaaah just improve my skill to keep writing and doing another activities except acomplished all my holly report  :D


Akan Dibawa Kemana UU No. 5 Tahun 1990 Tentang KSDHE?

Telah disadari bersama bahwa negara Indonesia sangatlah kaya akan berbagai sumber daya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya. Keanekaragaman hayati tersebut mencakup keanekaragaman spesies, keanekaragaman antar spesies dan keanekaragaman ekosistem yang berasal dari berbagai sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya. Sumber daya alam yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia tersebut disadari suatu ketika akan habis dan punah jika pengelolaannya dilakukan secara tidak lestari dan berkelanjutan.
Oleh karena itu diperlukan pengembangan kawasan konservasi yang ditujukan untuk mengusahakan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia serta adanya benteng terakhir untuk menjada plasama nutfa di dalamnya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melindungi kepunahan spesies yang terjadi secara alami akibat terjadinya disharmoni yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
Perubahan yang cepat pada lingkungan selama 20 tahun terakhir telah menyebabkan konservasi sumber daya hayati dan ekosistem di Indonesia yang diselenggarakan dalam UU No.5 Tahun 1990 tentang Keanegaraman Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak berjalan secara efektif, oleh karena itu perlu ada pernyempurnaan. Di dalam UU No. 5 Tahun 1990 ini diatur mengenai pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta pemanfaatannya agar dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaanya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman hayati dan nilainya. Undang-undang ini menentukan pula kategori atau kawasan suaka alam dengan ciri khas tertentu, baik didarat maupun diperairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengamanan keanekaragaman satwa langka, serta ekosistemnya.
Namun pelaksanaan yang terjadi di lapangan tidak seutuhnya berjalan sesuai Undang-undang yang berlaku. Hal tersebut dikarenakan munculnya berbagai permasalahan baru,  misalnya kurangnya partisipasi dari masyarakat untuk turut serta dalam pengelolaan konservasi di tingkat jenis, genetik dan ekosistem akibat aturan yang terlalu rigid dalam melarang akses masyarakat ke dalam kawasan konservasi. Masyarakat dinilai telah menyebabkan kerusakan berupa  kepunahan flora dan fauna langka di areal konservasi. Lalu kurangnya sinergi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat terkait kepemilikan dan pemanfaatan dari kawasan konservasi. Karena apabila luas dari kawasan konservasi cukup luas dan pemanfaatannya dikelola langsung oleh Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Daerah dan masyarakat merasa tidak memiliki dan tidak mendapat keuntungan dari kawasan konservasi tersebut.
Permasalahan lain yang menjadi pertimbangan usulan perubahan UU No. 5 Tahun 1990 adalah adanya potensi tambang yang berada di kawasan konservasi seperti emas, gas, minyak bumi dan uranium. Rencana perubahan yang diusulkan berlandaskan pada pelarangan semua akses pada untuk semua pihak yang menyebabkan eksistensi kawasan konservasi   justru menjadi common enemy yang menimbulkan berbagai kontradiksi.
Banyak kririkan yang mengarah pada substansi UU yang perlu disesuaikan dengan perkembangan kekinian. Oleh karena itu Kemenhut melakukan sosialisasi draft pengganti yang perlu dibahas tanpa mengurangi kelebihan yang telah ada sebelumnya. Rencana perubahan UU No. 5 Tahun 1990 telah diusulkan oleh Sekretaris Dirjen PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam), Hartono berupa draft rancangan Undang-undang yang akan dikonsultasikan dan akan dirumuskan oleh Pemerintah. Namun draft baru ini dinilai masih menyikapi ekosistem dengan setengah hati karena terlalu berasumsi bahwa keanekaragaman hayati bisa berdiri sendiri tanpa terkait dengan non hayati, padahal mestinya keduanya saling menetukan dalam ekosistem.
 Kelemahan dari RUU No. 5 Tahun 1990 ini dapat dilihat dari inkonsistensi beberapa pasal, seperti  Pasal 1 ayat 3 mengenai definisi Sumber Daya Alam dan Hutan hanya menekankan pada komponen ekosistem hayati dengan mengesampingkan peranan dari ekosistem sendiri. Pada pasal 1 ayat 4 definisi konservasi keanekaragaman hayati hanya pada perlindungan, pengelolaan dan pemanfaatan keanekaragam hayati yang seakan-akan terpisah dari ekosistem. Melupakan fungsi konservasi sebagai alat kontrol budidaya serta melupakan peran sumberdaya hutan sebagai penyumbang produk non hayati sebagai produk ekosistem, misalnya adalah air.
Sebetulnya banyak pihak yang kurang menyetujui rencana perubahan Undang-undang ini, seperti Lembaga Swasaya Masyarakat (LSM) dan para penggiat konservasi  yang mengkhawatirkan pada perubahan yang terlalu longgar justru akan menurunkan efektivitas pengelolaan di dalam kawasan konservasi. Ekosistem yang merupakan wadah interaksi antara spesies dan lingkungannya akan dipisahkan dari unsur keanekaragaman hayati yang pada sejatinya hubungan antar spesies di dalam kawasan hutan dengan lingkungannya tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada sebuah interaksi yang membentuk sebuah ekosistem.
Sebagai pihak yang peduli terhadap perubahan yang terjadi dalam konteks kehutanan, alangkah baiknya untuk tetap peka mengenai persoalan yang berkaitan dengan keberlanjutan pengelolaan kawasan hutan. Harapan ke depan terkait adanya perubahan atau tidak adanya perubahan  dalam  UU No. 5 Tahun 1990 ini adalah kelemahan-kelemahan dari Undang-undang dapat teratasi dengan sebuah Undang-undang keanekaragaman hayati yang mampu menjamin terselenggaranya konservasi pada tingkat genetik, jenis, dan ekosistem secara terintegrasi sehingga tujuan konservasi berupa kelestrarian keanekaragaman hayati dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud secara efektif. Hal ini dapat diwujudkan dengan melindungi dan memulihkan  kualitas dan kuantitas keanekaragaman hayati baik di areal publik maupun masyarakat, mewujudkan keseimbangan, keserasian, kebermanfaatan keanekaragaman hayati bagi kesejahteraan yang berkelanjutan dengan memperhatikan penguatan fungsi sosial, ekonomi, lingkungan, dan penguatan hak-hak masyarakat. Juga dapat terciptanya harmonisasi peran para pihak antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam penyelenggaraan konseervasi keanekaragaman hayati (Dayu).